Di Italia, tanah kelahiran hukum Romawi dan tempat para filsuf pernah bicara tentang keadilan di alun-alun, penjara-penjara kini menjadi metafora paling jujur tentang masyarakat yang bingung mau menyimpan dosa di mana. Jumlah narapidana sudah melebihi kapasitas hingga sepertiga lebih. Tak ada lagi ruang untuk bertobat secara damai; bahkan neraka pun tampaknya sedang overbooking.
Pemerintah, dengan wajah resmi dan nada politis yang penuh kemantapan, mengumumkan rencana membangun lima belas ribu tempat tahanan baru. Lima belas ribu. Sebuah angka yang lebih cocok untuk stadion sepak bola daripada tempat kontemplasi kriminal. Tapi inilah bentuk nyata dari kompromi negara modern: ketika tak mampu mengurangi kejahatan, setidaknya cobalah untuk memperluas wadahnya.
Sebagian orang mungkin bertanya—kenapa tidak mengubah sistem? Kenapa bukan mencegah, bukan merehabilitasi, bukan menciptakan masyarakat yang lebih adil agar penjara menjadi tempat kosong yang sepi? Jawabannya, seperti biasa, tenggelam di antara notulen rapat kabinet dan birokrasi yang terlalu sibuk menghitung dinding.
Anggaran sebesar tujuh ratus lima puluh delapan juta euro telah disiapkan untuk menambah sepuluh ribu sel hingga tahun 2027. Sisanya, lima ribu lagi, masih mengambang antara harapan dan defisit. Tetapi apakah penjara baru akan memecahkan masalah, atau hanya menunda kebusukan?
Sementara itu, pemerintah juga menyusun rencana pembebasan dini bagi sepuluh ribu orang yang masa hukumannya tinggal seupil dan kelakuannya dianggap layak untuk kembali hidup sebagai manusia sipil. Beberapa akan dialihkan ke pusat rehabilitasi—tempat yang, dalam teori, lebih menyembuhkan daripada menghukum. Karena sebagian besar dari mereka bukan pencuri atau pembunuh, melainkan korban kecanduan, kesalahan, dan kebijakan sosial yang gagal sejak generasi sebelumnya.
Italia, seperti banyak negara lain, sedang mencoba membedakan antara mereka yang berbahaya dan mereka yang hanya salah arah. Tapi membedakan itu butuh waktu, biaya, dan niat baik yang lebih dalam dari sekadar rencana empat tahunan. Karena yang kita hadapi bukan hanya deretan napi, tapi struktur keadilan yang kehabisan ruang untuk berempati.
Mungkin suatu hari nanti, kita akan melihat penjara bukan lagi sebagai tempat pembuangan, tapi sebagai cermin. Cermin untuk melihat betapa mudahnya sebuah masyarakat menyerah pada gagasan bahwa menghukum itu lebih murah daripada memahami. Tapi hari itu belum datang. Untuk saat ini, kita menambal celah sistem dengan semen dan uang, berharap dinding baru bisa menampung kegagalan lama.
Dan di antara suara tukang bangunan dan lembar RUU yang diteken terburu-buru, terdengar bisikan kecil dari seorang narapidana yang tak disebut namanya di berita mana pun: “Aku bukan ingin dibebaskan. Aku hanya ingin dimengerti.” Tapi sayangnya, itu bukan bagian dari anggaran.