Di selimut damai yang diklaim Tour de France, tiba-tiba muncul jeritan yang tak diprediksi: sehelai kaus bertuliskan “Israel out of the Tour”, dilengkapi keffiyeh yang berkibar. Seorang aktivis berlari ke lintasan saat kecepatan peloton mencapai klimaks; fans bersorak, namun sorak itu segera digantikan teriakan keamanan saat dia dicegat dan ditangkap, hanya 25 meter sebelum garis finish.
Tim Israel‑Premier Tech, yang secara teknis bernaung di bawah bendera Israel walau tak punya pembalap Israel tahun ini, menjadi sasaran protes yang menggelinding melewati tikungan-simpang Tour demi satu pesan tegas: bahwa olahraga bisa bantu menyimpan narasi, tapi juga bisa digugat oleh moral publik. Aktivis dari Extinction Rebellion Toulouse mengklaim aksi itu bertujuan menegur “komplicity Tour de France dalam genosida”—sebuah buntut dari perang Gaza dengan korban yang menurut otoritas kesehatan Gaza sudah menembus angka hampir 60.000 jiwa.
Balasannya pun cepat: sebuah pernyataan dari tim yang menyebut menghormati kebebasan berekspresi, tapi mengecam segala aksi yang mengancam keselamatan peloton. Mereka mendapat pengawalan ekstra sepanjang balapan; bus tim dijaga polisi, staf tim dikawal petugas berpakaian biasa dari Lille hingga Paris. Klaimnya: Anda boleh protes, tapi jangan ganggu perlombaan atau keselamatan atlet—itulah mantra yang mereka pegang.
Momentum besar muncul ketika Jonas Abrahamsen dari Norwegia memenangkan etape ke-11 usai adu sprint dramatis dengan Mauro Schmid dari Swiss. Tetapi detik-detik itu tak hanya soal sepeda dan jam waktu: ramai diingat bagaimana protestor itu menyusup ke momen puncak, mengguncang narasi besar tentang “sport tanpa politik”.
Di kota Dieulefit, etape berikutnya, puluhan demonstran mengibarkan bendera Palestina, meneriakkan “Free Palestine”, dan menampilkan spanduk “Affamer c’est tuer”—pesan bahwa kelaparan adalah bentuk pembunuhan. Mereka menuntut agar Israel–Premier Tech dilarang ikut balapan. Bagi warga kota yang dikenal sebagai “Town of the Just” karena sejarah melindungi kaum Yahudi saat Perang Dunia II, protes itu terasa seperti panggilan moral dari masa lalu untuk bertindak sekarang.
Dan Tour de France? Ia tetap berjalan, seperti upaya agar prestasi sportifnya tetap bersinar. Tapi dunia tahu: saat sebuah pertandingan sepeda dilewati riuh protes politik dan solidaritas global, maka olahraga bukan lagi ruang netral. Di sana berkumpul ideologi, luka, dan tuntutan yang tak bisa diabaikan.