Di dunia yang terus berlari ke arah 5G dan kecerdasan buatan, ada satu fenomena yang membuat penduduk RT 003 RW 07 nyaris bersujud syukur: WiFi gratis. Bukan, ini bukan mimpi. Ini nyata. Sebuah jaringan dengan nama sederhana, “RT003FreeWiFi”, muncul di layar ponsel warga, mengalahkan sinyal 4G yang biasanya lebih suka bermain petak umpet.
Awalnya, warga tak percaya. Mereka pikir ini jebakan, seperti saat dijanjikan perbaikan jalan sejak zaman kaset pita. Tapi setelah Ibu Rukmini sukses menamatkan 16 episode drama Korea tanpa buffering, dan Pak Jaka berhasil ikut Zoom pengajian sambil rebahan tanpa terputus, kami tahu: ini bukan sembarang jaringan. Ini WiFi dari langit—secara teknis dari router di balai warga, tapi atmosfer harunya memang seperti mukjizat.
Dalam semalam, balai warga berubah menjadi coworking space lokal. Anak-anak main Mobile Legends, ibu-ibu maraton YouTube tutorial masak, dan bapak-bapak… yah, sebagian masih menatap kosong karena belum paham cara pakai browser. Tapi suasananya hangat, bersatu, dan penuh harapan. Sebuah kemajuan peradaban yang tak pernah dijanjikan dalam visi misi calon lurah mana pun.
Pak Sarmin, Ketua RT yang dulu terkenal karena gaya pidatonya yang lebih panjang dari masa jabatan, kini dielu-elukan bak tokoh revolusioner. “Saya hanya ingin warga saya terhubung,” katanya dengan rendah hati, padahal semua tahu beliau awalnya hanya minta WiFi karena bosan main catur offline.
Desas-desus soal siapa yang membiayai WiFi ini merebak lebih cepat dari gosip perselingkuhan artis. Ada yang bilang ini CSR dari perusahaan air isi ulang, ada pula yang menyebut ini bagian dari eksperimen satelit Elon Musk. Versi paling ekstrem: ini sumbangan misterius dari seseorang yang pernah kalah dalam pemilihan RT dan ingin menebus dosa politiknya. Tidak ada yang benar-benar tahu. Tapi seperti kata pepatah warga, “Kalau rezeki sudah datang, jangan tanya siapa yang kirim.”
Namun, kehadiran WiFi juga membawa dilema filosofis. Apakah hidup tanpa buffering adalah bentuk tertinggi kebahagiaan? Ataukah ini hanya distraksi dari kenyataan bahwa harga cabai tetap naik dan BLT belum cair? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini hanya bisa dijawab setelah sesi nonton Netflix bersama selesai.
Satu hal yang pasti, WiFi RT ini lebih stabil dari janji kampanye pemilu. Ia tak pernah hilang di tengah malam, tak pernah menjanjikan akan cepat tapi datang belakangan, dan tidak pernah bilang “akan kami perjuangkan” lalu menghilang seperti anggota dewan pasca-pemilihan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, koneksi yang konsisten adalah kemewahan yang layak disyukuri.
Dan meskipun suatu hari nanti jaringan ini padam—entah karena tagihan listrik menunggak atau kabelnya disambar layangan putus—kenangan akan masa-masa streaming lancar dan unduhan 100MB dalam 2 menit akan hidup selamanya di hati kami. Atau setidaknya, di cache ponsel kami.
Jadi jika ada yang bertanya, “Apa yang bisa dilakukan sebuah jaringan WiFi untuk mengubah masyarakat?” Maka kami akan menjawab: lebih dari seminar motivasi yang diadakan kelurahan setiap semester.