Di suatu pagi yang hangat dan penuh harapan (karena belum melihat tagihan listrik), saya membuka media sosial dengan niat suci: mencari informasi. Tentu saja, dalam dua gulir pertama, saya langsung disambut postingan tentang konspirasi es batu, debat moral tentang sandal jepit di masjid, dan seruan revolusi digital oleh akun dengan foto profil Naruto. Sebuah perayaan intelektual yang membakar semangat, sekaligus lambung.
Tapi yang menarik bukan pada postingannya, melainkan kolom komentarnya—tempat paling jujur dan paling brutal di muka bumi setelah cermin kamar mandi pukul 7 pagi. Di sana, Tuhan sering disebut—baik sebagai pelindung bangsa, saksi kebohongan, atau bahan ancaman kepada netizen dengan opini berbeda. Saya pun berpikir: mungkinkah Tuhan sekarang berdomisili di kolom komentar?
Bukan tidak mungkin. Di zaman di mana akal sehat jadi minoritas, kita butuh tempat suci baru. Masjid, gereja, vihara—semuanya masih ramai, tentu. Tapi tidak ada tempat yang sesak dengan doa, makian, dan harapan sekaligus seperti kolom komentar. Satu kalimat provokatif saja bisa mengundang 187 ayat, 59 kutipan filsafat setengah matang, dan 3 debat politik level RT yang diarsipkan secara permanen oleh algoritma.
Yang satu berseru, “Tuhan pasti berpihak pada kami!”
Yang lain menyahut, “Tuhan tidak memihak pendusta sepertimu!”
Seseorang di tengah bertanya, “Tuhan yang mana dulu, Bang?”
Dan dari sana, percakapan mengalir deras seperti arus banjir kiriman. Tidak jelas dari mana datangnya, tapi semua ikut terbawa. Tak peduli latar belakang atau IP address, semua jadi ahli tafsir, dosen dadakan, atau juru bicara langit. Kadang saya membayangkan Tuhan sendiri pun mungkin mengaktifkan mode senyap, menyeru malaikat untuk tutup telinga, lalu berkata, “Biarkan manusia menyelesaikan kesalahpahaman mereka… selama 5.000 tahun ke depan.”
Fenomena ini tidak mengenal topik. Gosip selebritas? Tuhan tahu siapa yang berselingkuh. Kenaikan harga beras? Itu azab karena kurang bersyukur. Pemilu? Tuhan disebut-sebut lebih sering dari calon legislatif. Bahkan dalam postingan resep tumis kangkung pun, jika salah menyebut merek kecap, bisa muncul debat teologis yang membuat Plato bangkit dari kubur.
Tapi bukan berarti semua ini tanpa nilai. Di tengah absurditas komentar itu, sesekali muncul kalimat yang begitu indah, penuh empati, bahkan menyentuh. Seorang netizen menulis, “Kalau lapar, bilang. Saya DM-in nomor warung dekat situ.” Yang lain berkata, “Nggak harus sepakat, yang penting kita bisa duduk bareng makan bakso.”
Itu bukan sekadar komentar. Itu liturgi digital. Itulah mengapa saya percaya, di tengah kebisingan algoritma dan notifikasi yang tak kunjung hening, masih ada kemanusiaan yang hidup. Meski terselip di antara stiker ketawa dan GIF kucing, ia tetap hadir—menyelinap dalam bahasa, bercanda dalam diksi, dan menyapa dalam emoji peluk.
Mungkin itulah agama baru abad ini: bukan dalam bentuk dogma, tapi dalam koneksi. Dalam keisengan berbagi meme, dalam solidaritas virtual yang anehnya lebih tulus dari pidato resmi, dan dalam pengakuan universal bahwa tidak ada yang benar-benar tahu segalanya, bahkan soal sambal yang paling enak.
Jadi, lain kali Anda membaca komentar seperti:
“Yang penting sholat, bro, urusan lain belakangan,”
atau
“Semoga Tuhan memberikanmu jaringan WiFi yang stabil agar bisa berpikir jernih,”
ingatlah: Anda sedang menyaksikan liturgi digital dari generasi yang berdoa lewat notifikasi.
Karena mungkin—hanya mungkin—Tuhan memang membaca komentar.
🟦 Disclaimer:
Tulisan ini adalah satir belaka. Tidak dimaksudkan untuk menyerang agama, keyakinan, atau kecintaan Anda pada keyboard. Jika Anda merasa tersindir, mungkin sudah waktunya logout sebentar dan makan nasi hangat dengan sambal buatan ibu. Tuhan tahu, Anda butuh itu.