Berbicara tentang dunia kepemimpinan, terutama dalam lingkungan kampus, tentu integritas merupakan pondasi utama yang harus dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin. Pemimpin hendaknya menjadi teladan, baik dalam etika maupun moral. Namun, bagaimana jika seorang pemimpin yang selama ini dikenal lantang dalam menyuarakan nilai-nilai tersebut justru terperosok dalam skandal yang memalukan menurut norma agama dan sosial?
Hal inilah yang terjadi pada seorang pimpinan organisasi kampus yang baru-baru ini tertangkap sedang menghabiskan waktu di sebuah kontrakan milik seorang wanita yang bukan mahramnya. Sebuah tindakan yang bertentangan dengan citranya sebagai penjaga nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika suara lantang perihal moral dan etika terdengar dari podium dan disuarakan dari mobil komando dalam berbagai aksi, justru dia sendiri yang melanggar aturan tersebut—bak menelan muntahnya sendiri. Sang pemimpin, yang selama ini menjadi wajah kesucian nilai-nilai integritas, kini terjebak dalam situasi yang menciptakan bisik-bisik tajam di kalangan mahasiswa. Bukan hanya satu, dua jam, tetapi dua hari penuh ia digerebek warga, jauh dari sorot kamera dan pengawasan yang biasanya mengiringinya.
Ironisnya, dialah yang paling keras dalam mengingatkan orang lain untuk menjaga diri dari pelanggaran nilai agama dan asusila—tapi malah terjerat sendiri dalam skandal. “Integritas di atas segalanya,” katanya. Namun realita berbicara lain. Satu per satu saksi mulai berbicara, dan nama besar yang notabenenya “Salah Satu Pimpinan Ormawa Eksekutif Tingkat Universitas” itu kini mulai dipertanyakan. Bukan hanya tentang kemampuannya memimpin, tetapi juga kemampuannya menjaga ucapannya agar sejalan dengan tindakannya. Pepatah lama kembali terngiang: semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menggoyangnya.
Yang membuat skandal ini semakin panas adalah fakta bahwa mereka yang paling lantang berteriak soal moralitas justru terperosok ke dalamnya. Apakah ini hanya kebetulan, atau cerminan dari pepatah lama: “Mereka yang terlalu sibuk menunjuk kesalahan orang lain, sering lupa melihat noda di dalam diri mereka sendiri”?
Mahasiswa kampus mulai ramai memperbincangkan inkonsistensi antara citra kepemimpinan dan tindakan sang pemimpin. Banyak yang bertanya-tanya apakah ini hanya kesalahan kecil atau bukti nyata bahwa moralitas yang sering didengungkan hanyalah topeng belaka. Narasi panjang yang sering ia gaungkan kini terasa hampa, ketika langkahnya sendiri tak lagi sejalan dengan kata-katanya. Di kampus, semua bisikan mulai berubah menjadi gemuruh—menantikan apakah sang pemimpin mampu mengatasi badai yang ia ciptakan sendiri.
Skandal ini tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan di kalangan mahasiswa terhadap kepemimpinan, bahkan mencemarkan nama baik almamater. Integritas yang seharusnya menjadi landasan dalam organisasi kini dipertanyakan satu per satu. Hal ini pun membuat mahasiswa ragu akan kejujuran dan komitmen pemimpin mereka.
Lantas, kepada siapa kita harus percaya? Ketika lembaga yang merupakan perpanjangan tangan mahasiswa telah tercemar. Dalam dunia kepemimpinan, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah kunci. Skandal ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa moralitas tidak bisa hanya dijadikan bahan retorika di depan publik, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Tepat ketika pemimpin berbicara, skandal tanpa ragu akan selalu bercerita.
Kini, harapan untuk perbaikan di masa depan sangat diharapkan, agar integritas dan kejujuran kembali menjadi prioritas utama dalam kepemimpinan organisasi kampus.