Pukul 06.13 pagi. Matahari belum bangkit sepenuhnya, tapi antrean sudah seperti konser Coldplay versi lokal. Di ujung barisan, berdiri lelaki berkumis tebal dengan raut wajah yang menunjukkan bahwa dia sudah hidup tiga kali reinkarnasi hanya untuk memperpanjang SIM hari ini.
Saya pun bergabung dalam antrean itu. Sebuah ritual tahunan yang katanya sederhana, tapi dalam praktiknya lebih rumit daripada naskah Undang-Undang Minerba. Tujuan saya hanya satu: memperpanjang SIM. Tapi yang saya dapatkan? Sebuah perjalanan spiritual yang tak bisa dibeli di marketplace manapun.
Pertama-tama, masuk ke ruang pemeriksaan kesehatan. Seorang petugas, dengan tatapan yang sudah lelah pada hidup (mungkin karena ia juga tak pernah bisa memperpanjang harapan), menyodorkan kertas dan berkata, “Coba baca huruf baris keempat.”
Saya baca.
“A, B, X, D…”
“Bukan itu. Itu yang baris keenam.”
“Oh, saya pikir ini tes kepribadian, Pak.”
Petugas tidak tertawa. Ia hanya mengangguk pelan, seperti biksu yang sudah terlalu lama hidup di dunia penuh kebodohan.
Lanjut ke loket formulir. Seorang ibu paruh baya dengan suara selembut deadline skripsi menanyakan foto kopi KTP, foto kopi SIM, foto kopi KK, foto kopi ijazah TK, dan jika memungkinkan, foto terakhir waktu bahagia. Untung saya bawa map khusus, berisi seluruh dokumen dari zaman kerajaan Majapahit sampai nota belanja minggu lalu.
Proses foto SIM dimulai. Saya duduk. Diperintahkan tidak tersenyum. Ternyata, yang boleh tersenyum hanyalah mereka yang berhasil melewati proses ini dalam satu hari.
KLIK.
Selesai.
Saya melihat hasilnya di layar. Wajah saya tampak seperti seseorang yang baru sadar bahwa ternyata hidup ini hanyalah simulasi dan Tuhan sedang bereksperimen dengan humor gelap. Tapi tak apa, selama tidak lebih parah dari foto KTP, saya anggap sebagai berkah.
Kemudian, tibalah saat yang paling menegangkan: ujian teori. Komputer di depan saya tampak seperti teknologi masa depan tahun 2006, lengkap dengan suara kipas yang mendesah seperti manusia kelelahan hidup.
Soalnya berbunyi:
“Jika lampu lalu lintas menyala kuning, Anda harus…”
Saya klik: “Mengurangi kecepatan.”
Muncul pop-up:
“Jawaban Anda salah.”
Jawaban benar: “Menambah kecepatan agar sempat melewati lampu merah tanpa ketahuan.”
Ah, saya lupa sedang di mana. Ini bukan Norwegia. Ini negeri di mana zebra cross adalah dekorasi dan klakson adalah bentuk komunikasi spiritual.
Ujian praktik pun tak kalah dramatis. Seorang peserta lain hampir berhasil membuat angka delapan di lintasan, sebelum akhirnya menabrak tiang pembatas dan merusak kepercayaan dirinya yang sudah rapuh sejak remaja. Saya mencoba lebih tenang. Saya bayangkan diri saya sebagai air: mengalir lembut, tidak membantah, dan siap masuk got bila diperlukan.
Dan berhasil. Saya lulus. Dalam satu hari.
Saya keluar dari kantor Samsat dengan SIM baru dan trauma ringan. Di parkiran, saya menatap langit dan berbisik lirih, “Terima kasih, negara. Engkau benar-benar tahu cara menguji kesabaran umat.”
Lalu saya nyalakan motor, melaju pelan, dan tertawa kecil saat melihat polisi berjaga di ujung jalan, mengarahkan tongkat ke arah saya.
Ternyata, hari ini ada razia.
🟦 Disclaimer:
Tulisan ini murni fiksi dan satire. Jika Anda merasa tersindir, mungkin Anda juga pernah antre SIM dengan luka batin yang sama. Kami peluk dari jauh.