Mereka tidur dengan perut kosong, dan bangun hanya untuk menyatu dengan debu. Keluarga Al‑Shaer di Gaza bukan bagian dari propaganda atau poster solidaritas—mereka hanya ingin melewati malam. Tapi bahkan tidur pun kini tak aman di wilayah yang langitnya lebih sibuk dari dapurnya.
Wala al‑Jaabari, jurnalis lepas, tertidur bersama lima anaknya dan suaminya, mungkin bermimpi tentang roti yang masih utuh, bukan serpihan tembok yang menyatu dengan tulang. Sebuah serangan udara Israel merobek atap rumah mereka tanpa aba-aba. Tak ada sirine. Tak ada ampun. Hanya ledakan, lalu senyap yang tak bisa lagi dijelaskan dalam bahasa manusia.
Israel menyebutnya “operasi terhadap teroris”. Tapi tidak ada jawaban saat ditanya: siapa terorisnya kali ini? Anak yang kelaparan? Perempuan yang menggenggam anaknya seperti perisai?
Gaza hari ini adalah eksperimen: tentang seberapa lama manusia bisa bertahan tanpa makanan, tanpa listrik, tanpa hak disebut manusia. Di luar pagar, ratusan truk bantuan berjejer seperti janji politik—banyak, tapi tidak bergerak. Di dalamnya ada tepung, obat-obatan, dan susu bubuk yang tanggal kadaluarsanya akan lewat duluan sebelum izinnya keluar.
Sejak Januari, 111 orang mati kelaparan. Dua puluh satu di antaranya balita. Seorang bayi laki-laki meninggal dengan lambung kosong, dipeluk ibunya yang tak bisa lagi menangis. Statistik ini dibaca para pejabat seperti laporan cuaca: naik-turun, lalu dilupakan keesokan hari.
PBB, WHO, LSM internasional semua bersuara. Tapi suara itu hanyalah gema dalam lorong diplomasi yang terlalu sempit untuk melewati satu karung gandum. Dunia menyaksikan—beberapa dengan air mata, sebagian besar dengan popcorn.
Dan di atas semua itu, ada keluarga Al‑Shaer. Mereka tidak masuk berita karena mereka penting. Mereka masuk berita karena mereka tak bisa lagi bicara. Kematian mereka sunyi, tapi cukup bising untuk membocorkan retorika tentang “hati nurani internasional”.
Gaza bukan lagi tempat tinggal. Ia telah berubah menjadi teka-teki moral, di mana yang benar kalah suara dari yang bersenjata. Dunia bertanya siapa yang salah, tapi tak ada yang berani mengakui bahwa membiarkan pun adalah bentuk kejahatan.