Di tengah puing-puing perang dan janji rekonstruksi, Suriah diam-diam merancang ulang sistem ekonominya. Bukan melalui parlemen atau konsensus publik, melainkan lewat jalur keluarga.
Hazem al-Sharaa, saudara dari Presiden interim Ahmed al-Sharaa, kini disebut-sebut sebagai pengendali utama ekonomi nasional. Bersama sekutunya, Abu Mariam, mereka membentuk dewan bayangan yang lebih aktif dari kabinet resmi.
Alih-alih membongkar jaringan lama rezim Assad, pemerintah transisi justru melakukan apa yang disebut sebagai “normalisasi ekonomi”.
Sejumlah tokoh bisnis era Assad seperti Samer Foz dan Mohammed Hamsho menyumbangkan aset secara “sukarela”. Sebagai imbalan, mereka mendapat pengampunan hukum dan keistimewaan tertentu.
Dana yang terkumpul ditaksir mencapai 1,6 miliar dolar, dan tak satu pun tercantum dalam laporan keuangan negara.
Situasinya menyerupai barter kekuasaan: harta lama diserahkan, posisi tetap terjaga. Sejumlah investor dari Teluk, termasuk dari Arab Saudi, mulai berdatangan.
Bahkan Amerika Serikat, melalui pelonggaran sanksi oleh mantan Presiden Trump, membuka ruang investasi kembali.
Perjanjian dan proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar diumumkan dengan penuh semangat, seolah perang sudah menjadi kenangan yang bisa dijual kembali dalam bentuk saham.
Yang berubah bukan hanya struktur, tapi juga prosedur. Pendaftaran izin dagang kini bisa dilakukan melalui kamar dagang lokal, tanpa melibatkan bank sentral atau otoritas fiskal nasional.
Jika dulu ekonomi dikendalikan dari istana dengan tangan besi, kini kendali itu dioper ke ruang rapat keluarga besar. Transparansi tetap menjadi tamu yang tak diundang.
Para pejabat menyebut ini sebagai upaya “stabilitas ekonomi”. Kritikus menyebutnya sebagai daur ulang kekuasaan.
Beberapa lembaga donor mengaku khawatir, terutama karena reformasi ini tidak menyentuh akar persoalan: sistem patronase yang melahirkan ketimpangan.
Bagi rakyat kecil, perubahan ini terasa seperti mengganti atap rumah sementara fondasi masih retak. Kebijakan penghapusan pegawai fiktif dan privatisasi perusahaan negara memicu gelombang PHK. Protes kecil mulai bermunculan, membawa tuntutan sederhana: pekerjaan, listrik, dan kejujuran.
Di balik semua ini, satu hal tetap konstan. Dalam politik Suriah, kekuasaan selalu berkelompok, dan kelompok itu biasanya satu darah. Reformasi yang sejati masih seperti listrik di Aleppo: sering dijanjikan, jarang menyala.