Seloka.id — Sore itu, di Padang, kota yang terkenal dengan rendang dan keramahan—tiba-tiba suasananya tak seramah biasanya. Sebuah rumah doa milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia Anugrah dibubarkan secara mendadak.
Bukan oleh gempa, bukan pula karena kebakaran. Tapi oleh sekelompok warga yang menganggap doa itu tak seharusnya disuarakan di situ.
Rumah doa itu tak terlalu besar. Tak pula mencolok. Tapi seperti biasa, tempat ibadah umat minoritas seringkali menjadi target atas nama “ketidaksesuaian administratif”—sebuah eufemisme elegan untuk menyebut bahwa hak beribadah masih bisa dinegosiasikan.
Di Meja Mediasi, Semua Terlihat Damai
Tak lama setelah video pembubaran itu menyebar, tekanan publik mulai membuncah. Dan seperti dalam drama lama yang diputar ulang, pemerintah kota pun muncul sebagai penengah.
Wali Kota Padang, Fadly Amran, duduk di meja mediasi. Ia mengundang semua pihak: jemaat gereja, tokoh masyarakat, dan perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Semua bicara tentang pentingnya saling menghormati, hidup rukun, dan membangun toleransi.
Semuanya terdengar sangat baik, begitu damai, nyaris seperti khutbah Hari Minggu yang dibacakan dengan nada Jumat. Ketua FKUB pun menyatakan bahwa kasus ini akan diselesaikan lewat jalan kekeluargaan. Tidak akan ada laporan hukum yang diteruskan, tidak akan ada permusuhan yang dipelihara.
Semuanya damai. Damai sekali. Mungkin terlalu damai, sampai-sampai kita lupa bahwa pembubaran rumah ibadah bukanlah perkara kecil yang bisa diredam hanya dengan kata “salah paham.”
Toleransi di Atas Kertas
Dalam mediasi itu, wali kota kembali menegaskan bahwa Padang adalah kota inklusif. Kota terbuka bagi siapa saja yang beriman selama iman itu tidak terlalu keras terdengar di kampung yang salah.
Pemerintah menekankan pentingnya menghormati perbedaan, dan warga diminta memahami bahwa kegiatan keagamaan non-Muslim pun dilindungi oleh konstitusi.
Tapi konstitusi, sayangnya, tidak selalu hadir di lapangan. Ia lebih sering muncul di pidato. Dalam praktiknya, hak untuk beribadah bagi umat minoritas masih seperti janji manis: sah di bibir, tapi sulit di genggam.
Menurut Setara Institute, Indonesia mencatat puluhan kasus pelanggaran kebebasan beragama tiap tahun. Dan Padang, kota yang katanya menjunjung tinggi adat basandi syarak, tampaknya masih perlu belajar bahwa “syarak” yang ideal juga melindungi yang tak seiman.
Damai Itu Perlu, Tapi Jangan Menghapus Luka
Mari jujur. Mediasi memang penting. Tapi bukan berarti selesai. Karena damai yang terlalu cepat seringkali hanyalah bedak penutup luka.
Bukannya sembuh, justru menutup-nutupi infeksi sistemik: aparat yang enggan menindak pelaku intoleransi, aturan rumah ibadah yang bias mayoritas, serta budaya diam yang tumbuh subur di tengah masyarakat kita.
Apakah mediasi ini akan menyelesaikan segalanya? Mungkin. Untuk sementara. Tapi jika akar masalahnya tidak dicabut, maka rumah doa itu akan terus jadi sasaran.
Bukan karena kesalahan mereka, tapi karena negara terlalu sering hanya menjadi penonton saat suara minoritas dibungkam.
Sebuah Renungan: Apakah Kita Benar-Benar Toleran?
Toleransi bukan sekadar tidak membakar rumah ibadah orang lain. Toleransi bukan pula tentang mempersilakan umat lain beribadah selama mereka diam dan tidak kelihatan.
Toleransi, jika sungguh kita mau jujur, adalah menerima bahwa suara doa yang berbeda pun punya hak untuk menggema di langit Padang.
Sebab jika hak beribadah masih bisa dibubarkan oleh sekelompok warga, dan negara hanya menyarankan “mediasi,” maka kita belum betul-betul merdeka. Kita hanya sedang belajar. Dan sayangnya, kita masih di bab awal.