Tari Indang, warisan Minangkabau yang lahir dari surau dan tumbuh dalam zikir, kini melangkah jauh. Dari pesisir Pariaman, alunan tabuh dan gerak patah-patah khasnya menembus ruang, terbang melintasi benua, dan mendarat di panggung budaya Kanada.
Tak ada tikar pandan, tak ada bau harum nasi kuning yang biasa menemani penampilan di kampung halaman. Tapi di tengah suhu dingin yang membungkam, tepukan tangan para penonton Kanada menghangatkan udara. Mereka terdiam, lalu terpukau, saat lantunan syair dan gerak harmonis tangan-tangan muda menggambarkan kekuatan ruhani dan kekompakan jiwa kolektif.
Indang bukan sekadar tari. Ia cerita. Ia sejarah. Ia doa yang bergerak.
Tari ini dulu lahir sebagai sarana dakwah Islam. Di masa kolonial, para ulama dan masyarakat pesisir menyampaikan ajaran agama melalui seni. Syair-syairnya sarat pesan moral, disampaikan dalam irama dan tubuh yang mengayun. Kini, tari Indang bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang bagaimana warisan budaya bisa terus hidup, meski jauh dari rumah.
“Tadi rasanya seperti menonton doa yang bergerak,” ujar salah seorang penonton dari Quebec.
Penampilan ini adalah bagian dari Festival Budaya Internasional di Toronto. Tim tari Indang yang mewakili Indonesia tidak hanya membawa kostum dan musik, tapi juga semangat kampung yang tak bisa dibungkus koper semata, tapi ada rasa, nilai, dan kebanggaan pada akar budaya.
Ketika banyak budaya lokal mulai dilupakan di negeri sendiri, justru negeri orang memberi panggung. Mungkin itu teguran halus. Jangan-jangan kita baru merasa penting setelah ada orang lain yang mengaguminya?
Indang telah menari jauh. Tapi pesan yang dibawanya tetap dekat, budaya adalah jembatan antar dunia, dan tari adalah bahasa yang bisa dimengerti siapa saja, tanpa harus diterjemahkan.