Di sudut malam yang mulai terlupakan di kota Padang, ada segelas air aka yang mengepul pelan. Tidak viral, tidak juga dikemas dalam botol mewah. Hanya air jahe buatan tangan, diseduh dari botol biasa dan niat yang tidak pernah pudar.
Sementara kafe-kafe kota berlomba menyajikan latte art dan AC 16 derajat. Di warung kayu yang tua ini, segelas kehangatan disajikan tanpa janji, tanpa basa-basi. Tak ada WiFi, tapi ada wicara yang tulus. Tak ada musik jazz, tapi ada dengung lampu dan hiruk pikir yang tak sempat dilantunkan.
Air aka tak butuh promosi. Ia sudah lama ada sebelum tren detox dan infused water menyerbu lini masa. Ia menyembuhkan masuk angin, bukan krisis eksistensial. Di tengah kota yang makin sibuk mencari gaya, segelas air aka justru mengingatkan kita pada yang sederhana, bahwa hidup tak harus serumit desain interior kafe.
Obrolan Hangat di Tengah Dinginnya sikap Kota
“Sudah lama jualan, Pak?”
“Lama lah… dari masih kuat ngangkat termos sampai sekarang nyari bangku aja kudu pelan-pelan,” katanya sembari tertawa kecil. “Dulu modal dua botol jahe sama gelas pinjaman.”
Ia bercerita tanpa mengeluh. Sehari bisa habis lima sampai tujuh liter air jahe, kadang lebih kalau malam hujan. Pelanggannya beragam, dari tukang ojek online sampai mahasiswa yang uang bulanan sudah seret.
“Saya nggak naikin harga, bukan karena nggak bisa. Tapi karena malu. Masa kehangatan dibisniskan kayak gitu?” imbuhnya.
Saya tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena merasa tertampar. Di kota ini, kehangatan sering dijual mahal-mahal. Dari kopi 30-50 ribu rupiah, sampai perhatian yang selalu bersyarat.
Kota dan Ketiadaan Rasa
Lucunya, kota ini lebih sibuk membangun tempat nongkrong daripada tempat pulang. Lebih suka menata taman estetika daripada warung kecil yang menyelamatkan malam. Padahal, di gelas-gelas kaca murahan inilah, banyak cerita dituang dan tubuh-tubuh lelah ditenangkan.
Air aka tidak akan memenangkan penghargaan startup, tapi ia tahu cara bertahan. Tak perlu investor, cukup pelanggan yang jujur dan malam yang dingin.
Akhir yang Hangat
Sebelum pamit, saya tanya, “Kenapa tetap jualan air aka, nggak pindah ke kopi kekinian, Pak?”
Ia tersenyum, matanya mengarah ke lampu 5 watt di atas kepala.
“Kopi bikin melek, Nak. Tapi air aka… bikin ikhlas.” Pungkasnya.
Kota boleh canggih. Tapi kalau tak bisa memeluk seperti segelas air aka, ia hanya tumpukan beton yang dingin dan asing.