Tiap tahun, garis kemiskinan diumumkan. Tiap tahun pula, rakyat diajak bermain tebak-tebakan. Siapa yang cukup miskin untuk disebut miskin? Dan siapa yang “hampir miskin”, yang sebetulnya sama saja, cuma belum diakui secara resmi oleh negara.
Tahun 2025, kita kembali disuguhkan daftar “komponen penyumbang garis kemiskinan”. Kacang tanah, mi instan, bensin, listrik, hingga beras satu sendok sehari. Ajaibnya, komoditas-komoditas ini seolah-olah menjadi tolok ukur sahih tentang hidup layak. Padahal, hidup layak sekarang butuh lebih dari sekadar nasi dan nyala lampu 5 watt.
Pertanyaannya sejak kapan kemiskinan bisa dihitung dengan kalkulator?
Di balik angka-angka statistik yang diketik rapi oleh para ahli, ada realitas rakyat yang tak pernah masuk tabel. Seperti ibu-ibu yang memilih beli nasi padang “nasi saja” demi hemat, atau bapak-bapak ojek daring yang isi bensin eceran 5 ribu demi bisa narik dua kali lagi. Mereka tidak miskin secara data. Tapi hidup mereka jauh dari kaya.
Lucunya, ada satu komponen penyumbang garis kemiskinan yang selalu luput disebut secara resmi: **harga gengsi**. Ya, karena di negeri ini, bahkan yang tak punya uang tetap harus tampil wangi. Beli pulsa dulu, baru beli beras. Karena lapar bisa ditahan, tapi sinyal? Tidak.
Pemerintah pun terus mengkaji, katanya demi “keadilan distribusi kesejahteraan”. Tapi bagaimana mau adil, jika rakyat dihitung berdasarkan rata-rata nasional yang tak pernah turun ke warung Indomie?
Mungkin sudah waktunya kita revisi cara pikir soal miskin. Karena miskin bukan soal tak punya barang, tapi tak punya pilihan. Dan selama rakyat masih harus memilih antara makan atau bayar listrik, maka statistik boleh naik… tapi realita tetap mandek di bawah garis.
Akhir kata, mari kita beri tepuk tangan untuk para penyumbang garis kemiskinan tahun ini. Mereka telah bekerja keras, bukan untuk hidup layak, tapi untuk tetap dianggap miskin oleh negara.
Dan itu pun… belum tentu lulus syarat bantuan.