Bicara soal pendidikan memang seperti menggenggam pasir. Semakin erat kita cengkeram, semakin ia menyelinap lewat celah. Tapi topik ini, bagaimanapun juga, tak pernah benar-benar usang. Ia selalu kembali.
Kadang sebagai janji kampanye, kadang sebagai drama murid yang tak hafal sila Pancasila. Dan kadang, seperti yang saya saksikan belakangan, dalam bentuk potongan video pendek — anak-anak sekolah diwawancarai oleh kreator jalanan, dicecar pertanyaan sederhana, lalu terdiam seperti pohon pisang.
Mereka tak tahu nama-nama presiden. Tak bisa menyebut mata angin. Bahkan angka dasar pun terselip di sela-sela ingatan yang entah ke mana. Yang mereka tahu? Filter Instagram, zodiac teman sekelas, dan cara jadi viral.
Pendidikan telah berubah wujud: bukan lagi proses memanusiakan manusia, melainkan rangkaian konten setengah sadar untuk jadi lucu di FYP.
Dan bangsa pun menonton. Dengan geli. Dengan tertawa getir. Kita menertawakan kebodohan yang kita pelihara sendiri.
Konon katanya kita menuju Indonesia Emas 2045. Sebuah istilah yang terdengar seperti judul sinetron sinis: manis di poster, menyakitkan di kenyataan. Bonus demografi adalah mantra baru para pemangku jabatan.
Mereka membayangkan generasi muda kita — anak-anak TikTok yang kini tak tahu beda antara provinsi dan planet — akan menjadi pemimpin dunia. Akan menaklukkan teknologi. Akan membangun negeri. Tapi dengan pengetahuan yang bahkan tak bisa menyebut jumlah pulau di negaranya sendiri?
Bukan anak-anaknya yang bodoh. Tapi sistem yang lelah. Kita mengubah kurikulum seperti ganti seragam: KBK, KTSP, K13, sekarang Merdeka Belajar — tapi anak-anak tetap tak belajar. Kita kirim guru-guru ke pelatihan, tapi lupa mengurangi beban administrasi mereka. Kita bicara tentang karakter, tapi lupa menanamkan nalar.
Sekolah hari ini mengajarkan proyek, bukan pemikiran. Mengukur prestasi dengan lembar jawaban, bukan keberanian bertanya. Dan negara, seperti biasa, hanya menulis laporan.
Ironisnya, konten-konten bodoh itu — yang viral karena kekosongan isinya — lebih berdampak daripada modul pendidikan resmi. Satu video siswa yang tak tahu nama menteri pendidikan bisa ditonton lima juta kali. Tapi program literasi digital dari kementerian? Bahkan mungkin belum ditonton oleh si menteri sendiri.
Kita menghadapi generasi yang dibentuk oleh algoritma. Bukan kurikulum. Mereka belajar dari For You Page, bukan dari guru sejarah. Mereka tahu cara menghindari soal, tapi tidak tahu cara membaca peta. Mereka hafal lirik lagu Korea, tapi bingung jika ditanya ibu kota negara tetangga.
Tapi mereka juga cerdas, dalam cara yang tak kita pahami. Mereka tahu bahwa sekolah tidak selalu menjanjikan hidup lebih baik. Mereka paham bahwa nilai tinggi belum tentu membuka pintu. Dan mereka sadar, meski tak mereka ucapkan, bahwa sistem pendidikan ini bukan tempat belajar — tapi tempat bertahan.
Lalu kita, orang dewasa yang menertawakan kebingungan mereka, sebetulnya lebih patut malu. Karena kitalah yang membiarkan ini semua. Kita menumpuk jargon, tapi lupa membentuk isi. Kita senang mendengar anak-anak menyebut “karakter Pancasila”, tapi tidak peduli ketika mereka tak paham makna “kebenaran”. Kita bicara tentang era 5.0, tapi masih terjebak pada debat apakah anak boleh pakai kaus kaki warna putih atau hitam.
“Indonesia Emas” hanyalah ilusi jika pendidikan tetap jadi pelengkap pidato, bukan isi kebijakan. Ia akan jadi poster murahan — seperti gambar di ruang guru yang tak pernah diperhatikan.
Anak-anak kita tidak butuh seremoni. Mereka butuh kesempatan. Bukan hanya untuk menghafal, tapi untuk memahami. Bukan hanya untuk mengikuti ujian, tapi untuk bertanya: mengapa? Dan untuk itu, mereka butuh sistem yang percaya bahwa pendidikan bukan soal nilai, tapi soal nyawa.
Kalau bangsa ini benar-benar ingin menjadi emas, maka harus berhenti menyepuh kebodohan dengan kata-kata indah. Harus mulai dari keberanian sederhana: mengakui bahwa apa yang kita punya sekarang bukan sistem pendidikan, tapi sistem pelupaan massal. Kita sedang mencetak anak-anak yang sopan, patuh, tapi kosong.
Dan itu, sayangnya, bukan ciri bangsa besar. Itu ciri bangsa yang akan menyesal — tapi sudah terlambat.