Di banyak kampung di Minangkabau, suara tentang palasik tak pernah benar-benar hilang. Ia mungkin tak terlihat di siang hari, tapi selalu hadir di ujung obrolan mamak-mamak saat anak bayi menangis tengah malam. Atau di bisik-bisik ibu muda yang baru melahirkan “Jangan lupa taruh gunting di bawah bantal, buat penangkal palasik.”
Lalu, apa itu palasik?
Secara umum, palasik sering digambarkan sebagai makhluk gaib pemakan bayi atau janin, kadang datang dalam bentuk kepala melayang dengan isi perut menggantung. Gaya ceritanya mirip dengan penanggal di Melayu atau kuyang di Kalimantan. Tapi di Minangkabau, ia punya napas budaya sendiri—berkait dengan cerita turun-temurun, petuah nenek, dan ketakutan kolektif masyarakat.
Yang menarik, palasik bukan “hantu biasa.” Dalam banyak versi cerita, palasik bukan makhluk mati, tapi manusia yang belajar ilmu hitam tingkat tinggi. Mereka disebut “orang sakti” yang memilih jalan menyimpang, demi panjang umur, kekayaan, atau kuasa. Maka dari itu, orang tua dulu suka bilang, “Palasik tu awak awak juo,” — artinya, pelakunya bukan roh entah dari mana, tapi bisa jadi tetangga sendiri.
Tentu, dari sudut pandang ilmiah, semua ini bisa dianggap mitos. Tak ada bukti sahih bahwa palasik benar-benar ada. Tapi menariknya, rasa takut terhadapnya tetap lestari. Di banyak rumah di kampung, masih ada yang menaruh bawang putih, gunting, atau paku dekat bayi. Sebagian bilang itu untuk “jaga-jaga.”
Apakah palasik nyata?
Mungkin tidak dalam bentuk yang digambarkan. Tapi sebagai bagian dari warisan cerita rakyat, palasik adalah nyata—ia hidup dalam ingatan kolektif, dalam budaya lisan, dalam ketakutan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dan seperti banyak mitos lainnya, palasik bisa dibaca sebagai simbol: tentang rasa takut akan kehilangan, tentang kekuatan ibu menjaga anaknya, atau tentang bagaimana masyarakat tradisional menciptakan batas antara “baik” dan “tidak boleh.”
Maka, jangan buru-buru menghapus cerita palasik dari ingatan. Ia mungkin bukan fakta, tapi ia adalah bagian dari cara orang Minang dulu memahami dunia—dengan bahasa mereka sendiri.
Dan di dunia yang kini makin rasional, barangkali kita butuh sedikit ketakutan kuno agar tak terlalu sombong menganggap semua bisa dijelaskan.
Mau percaya atau tidak, palasik tetap akan hidup. Bukan di langit atau hutan, tapi di cerita orang-orang yang masih suka menengok masa lalu.