Di balik lebatnya hutan dan sunyinya gunung, ada kisah tentang makhluk halus yang tak terlalu menyeramkan, tapi bikin penasaran. Mereka dikenal sebagai orang bunian, penghuni alam gaib yang hidup berdampingan dengan manusia.
Orang bunian tidak menyerupai hantu yang menakutkan. Mereka digambarkan berwujud seperti manusia, berpakaian rapi, sopan, dan punya kehidupan sosial sendiri. Katanya, mereka punya desa, rumah, bahkan adat istiadat. Hanya saja, semuanya tak bisa dilihat oleh mata biasa.
Di Sumatera Barat, kisah orang bunian masih sering dibisikkan di tengah arisan keluarga atau saat berkumpul selepas magrib. Seorang nenek mungkin bercerita tentang temannya yang hilang di hutan selama tujuh hari, tapi kembali dengan wajah lebih cerah dan baju tak ada yang kusut. Warga dusun percaya, selama tujuh hari itu, ia sedang bertamu di dunia lain.
Konon, ada manusia yang pernah “diambil” orang bunian, bukan untuk disakiti, tapi untuk dijadikan pasangan hidup. Kehidupan bersama orang bunian kabarnya damai, tapi satu syaratnya, tidak boleh kembali ke dunia nyata. Dalam cerita rakyat, ini bukan sekadar kisah cinta yang absurd, tapi simbol dari keterputusan antara dunia kasat mata dan dunia tersembunyi. Mereka yang telah melewati batas, tak bisa lagi kembali dengan utuh.
Ada kisah dari Ranah Minang tentang seorang pemuda yang menghilang saat mencari kayu di hutan. Tujuh tahun kemudian, ibunya bermimpi didatangi sosok laki-laki berpakaian putih, mengaku sebagai anaknya, dan meminta sang ibu mendoakan agar ia bahagia di “kampung yang berbeda”. Warga kampung pun sepakat: ia telah “dipinang” oleh orang bunian.
Masyarakat dulu sangat menghormati keberadaan mereka. Saat masuk ke hutan, biasanya orang-orang akan mengucapkan permisi, menjaga sikap, dan tidak sembarangan bicara. Karena bisa jadi, yang mendengar bukan hanya pepohonan dan burung-burung.
Bahasa yang digunakan pun penuh kehati-hatian. “Awak ndak tau, sia nan ado di siko,” ujar orang tua-tua Minang. Ungkapan itu bukan bentuk ketakutan, tapi cara menjaga harmoni — pengakuan bahwa alam ini tidak dimonopoli manusia.
Beberapa kisah menyebutkan, orang bunian bisa menolong manusia. Misalnya, orang yang jatuh sakit parah di tengah hutan, lalu tiba-tiba merasa ada yang merawat dan menyelamatkan. Tapi tidak semua pengalaman bersama mereka berakhir indah. Ada juga yang kembali dari “alam lain” dalam keadaan bingung, seperti baru terbangun dari mimpi panjang.
Beberapa korban “hilang sesaat” itu kembali tanpa ingatan. Ada yang tidak bisa berbicara selama beberapa hari. Ada pula yang terus-menerus menyebut nama orang-orang yang tak dikenal. Keluarga mereka biasanya akan memanggil dukun kampung atau orang pintar untuk “menjemput sisa jiwa” yang tertinggal.
Cerita seperti ini terus bertahan di tengah zaman yang gemar mencibir hal-hal di luar statistik. Di era di mana segala sesuatu harus bisa dijelaskan, orang bunian adalah gangguan kecil bagi dunia yang sudah terlalu yakin pada data. Tapi gangguan ini justru membuat dunia jadi lebih menarik. Karena di tengah semua yang bisa diukur, selalu ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan.
Beberapa budayawan memandang orang bunian sebagai representasi dari dunia bawah sadar kolektif masyarakat: sisi spiritual manusia yang tidak bisa direduksi jadi rasio. Mereka hadir bukan untuk menakuti, tapi untuk menyeimbangkan — antara yang nyata dan tidak, antara terang dan bayang-bayang.
Mereka mungkin tidak terlihat, tapi tetap hidup di tengah kehidupan. Orang bunian bukan sekadar legenda, melainkan pengingat bahwa dunia ini tidak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan logika. Terkadang, rasa hormat pada yang tak terlihat justru jadi bentuk kebijaksanaan tertua manusia.
Dalam dunia yang terlalu percaya pada cahaya, orang bunian adalah bagian dari kegelapan yang tidak jahat — hanya tersembunyi. Mereka adalah metafora tentang dunia yang luas, dunia yang tak selesai hanya dengan melihat dan mencatat.
Keberadaan mereka mengajarkan kita satu hal penting: bahwa tidak semua hal harus dibuktikan untuk dihormati. Tidak semua tempat harus difoto untuk diakui indah. Dan tidak semua kisah harus punya kesimpulan.
Barangkali itulah sebabnya, meski tak pernah tampil di televisi, orang bunian terus hidup dari mulut ke mulut, dari mimpi ke mimpi. Karena mereka bukan cuma tokoh dalam cerita rakyat, tapi penanda bahwa manusia sejatinya hidup berdampingan dengan yang tak bisa ia kendalikan — dan tak perlu.