Di suatu negeri bernama Indonesia, di mana pengibaran bendera biasanya jadi urusan protokoler dan upacara baju rapi-rapi, tiba-tiba muncul sosok tak terduga: Topi Jerami. Bukan dari protokoler istana, tapi dari semesta manga, datang dengan senyum lebar, tengkorak ramah, dan semangat petualangan yang entah bagaimana berhasil membuat separuh negeri bingung—dan separuh lagi marah.
“STOP FOMO dan ikut-ikutan!” seru sebuah poster yang menampilkan wajah tegang Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco. Beliau bukan sedang memperingatkan rakyat tentang inflasi atau pemilu curang, melainkan tentang… pengibaran bendera One Piece. Katanya, aksi ini adalah “upaya memecah belah bangsa”.
Tak lama kemudian, Luffy, bajak laut kesayangan generasi milenial dan gen Z, tampil tersenyum di poster berikutnya, dengan imbauan nyaris patriotik: “Bulan Agustus, ngibarin bendera Merah Putih donk.” Di tangannya, sang saka merah putih dikibarkan dengan bangga, seolah ingin membuktikan bahwa bahkan bajak laut pun paham etika kenegaraan.
Namun negara ini, sebagaimana kebiasaannya, memang mudah panik pada simbol. Terlalu mudah. Dan di tengah gempita menjelang 17 Agustus, alih-alih fokus pada bagaimana menekan harga beras atau membereskan stadion mangkrak, energi nasional malah dialihkan ke tengkorak lucu ber-topi jerami.
Simbol yang Menyulut Amarah
Padahal, menurut penjelasan Kompas yang lebih bijak dari sebagian anggota parlemen, bendera One Piece bukan sekadar lambang pemberontakan. Itu adalah “Jolly Roger”, simbol klasik bajak laut dalam fiksi yang mencerminkan identitas, persatuan kru, dan reputasi. Dalam narasi One Piece, itu bukan lambang anarki, tapi harapan, impian, dan tekad mengejar kebebasan. Bahkan dalam dunia imajiner itu, bendera adalah alat penyatu, bukan pemecah.
Tapi tentu saja, di republik ini, tengkorak tersenyum bisa dianggap sebagai subversi. Entah kenapa, negara yang pernah melahirkan Pancasila, malah tampak alergi pada simbol alternatif, meski berasal dari fiksi. Dalam UU No. 24 Tahun 2009, memang ada pasal keras tentang penghinaan terhadap bendera negara. Namun tak ada satu kalimat pun yang melarang bendera fiksi dikibarkan… selama tidak menggantikan merah putih dalam konteks formal.
Namun kegaduhan kadung terjadi. Narasi bahwa mengibarkan bendera Luffy menjelang 17 Agustus adalah bentuk makar budaya telah menyebar. Di era digital, di mana anak muda lebih paham alur cerita One Piece daripada janji kampanye pejabat, isu ini jadi bahan tawa sekaligus kritik.
Negara Panik, Bajak Laut Jadi Tersangka
Barangkali ini adalah satu-satunya negara di dunia di mana tokoh fiksi bisa dituduh memecah belah bangsa. Negara yang bisa panik melihat fans mengibarkan kain bergambar tengkorak, namun tenang-tenang saja saat mafia anggaran mengibarkan proyek siluman.
Dalam narasi resmi, seolah pengibaran bendera One Piece adalah ancaman laten terhadap kesatuan republik. Namun yang sebenarnya mengkhawatirkan bukanlah lambang bajak laut itu, melainkan betapa gampangnya negeri ini terprovokasi oleh simbol. Kita menjadi bangsa yang lebih takut pada bendera fiksi ketimbang fakta.
Fakta bahwa banyak anak muda kini merasa lebih terwakili oleh semangat Luffy daripada pidato-pidato resmi. Fakta bahwa simbol keadilan dan petualangan kini lebih mereka temukan di anime, bukan di institusi negara. Dan itu seharusnya jadi alarm, bukan sekadar alasan bikin poster peringatan.
Merah Putih dan Topi Jerami: Siapa Bilang Tak Bisa Berdampingan?
Mari kita jujur. Tidak ada yang bisa mengalahkan merah putih dalam makna dan harga dirinya. Tapi mengapa tidak bisa memberi ruang bagi bendera fiksi sebagai ekspresi budaya populer?
Bukankah kemerdekaan juga berarti kebebasan berimajinasi, mengidolakan tokoh fiksi, dan mengekspresikan diri tanpa takut stempel makar?
Mungkin sudah waktunya kita membedakan antara simbol fiksi dan hasutan faktual. Antara pengibaran imajinasi dan pengibulan realitas.
Karena di tengah dunia yang makin absurd, kadang justru bajak laut fiksi yang lebih jujur dalam mengejar mimpi ketimbang mereka yang berseragam dan berdasi.