Pemain sepak bola seringkali dielu-elukan sebagai pahlawan di lapangan, namun tidak sedikit dari mereka yang terjerat kasus kekerasan seksual atau pelecehan di luar lapangan. Mengapa fenomena ini cukup sering terjadi? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini bukan sekadar kebetulan atau ulah oknum semata.
Studi yang dipublikasikan oleh MDPI (2023) mengungkap bahwa sekitar 35% atlet perempuan mengalami kekerasan seksual non-kontak dan 20% mengalami kekerasan seksual secara langsung selama karier mereka. Bahkan dalam lingkungan olahraga elit, praktik ini sering tersembunyi dan tidak dilaporkan secara terbuka. Faktor-faktor seperti ketimpangan kekuasaan antara pelatih, manajemen, dan pemain membuat kasus-kasus seperti ini sulit terungkap.
Pemain sepak bola profesional sering kali menerima gaji besar sejak usia muda. Uang dan status datang lebih cepat daripada kedewasaan emosional. Banyak dari mereka tidak dibekali pendidikan karakter atau pemahaman mendalam tentang persetujuan (consent). Ditambah lagi dengan budaya maskulinitas berlebihan yang masih kuat dalam ruang ganti, membuat cerita soal perempuan menjadi ‘prestasi’ yang dinormalisasi.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya edukasi soal batasan dan persetujuan, serta lemahnya sistem pengawasan moral di klub-klub besar. Sanksi juga sering kali hanya formalitas, atau malah tidak diberlakukan karena pemain dianggap berharga secara komersial. Akibatnya, beberapa pemain merasa kebal dan bertindak tanpa mempertimbangkan konsekuensi.
Media juga berperan besar dalam mempopulerkan kasus-kasus ini. Sebuah penelitian mencatat bahwa kasus kekerasan seksual oleh atlet mendapat porsi pemberitaan yang jauh lebih tinggi dibanding pelanggaran lain seperti doping atau korupsi. Hal ini membentuk persepsi bahwa kasus seperti ini semakin sering terjadi, meski pada kenyataannya, bisa jadi hanya lebih terekspos.
Tentu, tidak semua pesepakbola seperti itu. Banyak yang profesional, rendah hati, dan menjunjung nilai sportivitas baik di dalam maupun luar lapangan. Sepak bola memang soal ketangkasan dan strategi.
Tapi kalau kita terus menyaksikan daftar pelaku pelecehan seksual di sepak bola bertambah setiap tahun, mungkin sudah saatnya pertanyaan ini tidak hanya kita bisikkan di tribun, tapi harus digemakan dengan sekuat-kuatnya.
Sepak bola memang bukan sekolah. Tapi bukankah idealnya, tempat sebesar itu harusnya bisa jadi ruang belaja tentang apa artinya jadi manusia yang manusia?
Menjadi manusia yang manusia adalah tantangan yang sangat sulit. Sudah saatnya klub-klub dan federasi berhenti tutup mata, dan mulai memasukkan pendidikan etika sebagai bagian dari pembinaan, bukan hanya latihan fisik dan taktik.