Setiap pagi, sepatu bot berlumpur itu kembali bergerak, menyusuri jalan tanah yang kadang licin oleh hujan semalam. Tangan yang sudah akrab dengan bau obat hewan dan suara sapi melenguh itu adalah dendang paling merdu di teling Tarmizi seorang mantri atau mantari orang-orang sekitar memanggilnya. Ia lebih banyak berurusan dengan kandang daripada empuk serta nyamannya kursi dan meja kantor.
Tak ada gemerlap dalam pekerjaannya. Hanya panggilan-panggilan dari peternak yang panik, sapi yang sulit melahirkan, atau kambing yang mendadak tak mau makan. Tapi semua ditanggapi dengan sabar. Seolah setiap hewan yang sehat, adalah doa yang terkabul. Seolah setiap tetes keringat yang jatuh, adalah jalan bagi masa depan yang sedang dipupuk diam-diam.
Gaji yang cukup-cukup saja tak pernah menjadi alasan untuk menyerah. Justru dari keterbatasan itu, tumbuh tekad yang keras kepala. Tak banyak jajan, tak banyak rekreasi. Tapi selalu ada uang untuk buku. Selalu ada ongkos menuju sekolah. Selalu ada harapan yang tak pernah mati, bahwa pendidikan adalah jalan paling sahih keluar dari lingkar tanah dan rumput.
Kini, lima toga pernah terpasang rapi di kepala anak-anaknya. Lima nama pernah terpanggil di panggung wisuda. Satu demi satu, menyentuh garis akhir dari perjuangan panjang yang ditarik dari kandang ke kampus.
Tarmizi tak pernah naik panggung itu. Tapi keringatnya ada di setiap langkah kaki mereka. Tak ada gelar di belakang namanya, tapi ilmunya hidup dalam keteladanan. Tentang kerja yang jujur, tentang cinta yang diam-diam, tentang doa yang tak bersuara tapi nyata.
Di sebuah kampung kecil, di tepian Kampung Berok, Tarmizi tetap berjalan dengan bot yang sama, menyapa sapi-sapi yang menunggu disembuhkan. Tak banyak yang tahu, bahwa di balik tangan yang menggenggam suntikan itu, telah tumbuh lima sarjana.