Dunia kerja Indonesia memiliki berbagai ragam kekayaannya. Bukan kekayaan finansial, melainkan kekayaan istilah. Kali ini, yang dibahas bukan soal gaji, tapi dua kata yang punya makna sama, nasib sama, tapi kasta berbeda: orang dalam dan relasi.
Secara fungsi, keduanya bekerja untuk memperlancar masuknya seseorang ke sebuah posisi, sering kali lewat pintu yang tidak dibuka untuk umum. Tapi soal penyebutan, ada perbedaan mencolok yang menentukan apakah kamu terlihat curang atau terlihat pintar membangun jaringan.
“Orang dalam” terdengar seperti praktik gelap. Penuh konotasi busuk. Identik dengan nepotisme, KKN, dan titipan-titipan. Biasanya digunakan oleh yang tidak punya.
Sementara “relasi” terdengar elegan. Seperti hasil dari proses panjang membangun networking, menghadiri forum, dan memperluas koneksi secara profesional. Biasanya digunakan oleh yang sudah lolos.
Padahal ya… intinya sama. Sama-sama kenal orang di dalam.
Kalau kamu dapat kerja karena orang dalam, kamu akan dituduh tidak kompeten. Tapi kalau kamu dapat kerja karena relasi, kamu akan dipuji punya soft skill dan kemampuan menjalin koneksi.
Inilah keajaiban diksi dalam dunia kerja modern. Satu praktik, dua narasi. Jika kamu biasa-biasa saja dan menyebutnya “orang dalam”, kamu dianggap bermain curang. Tapi jika kamu pakai baju formal, update LinkedIn, dan menyebutnya “relasi”, kamu dianggap sukses memanfaatkan peluang.
Sampai hari ini, belum ada undang-undang yang membedakan keduanya. Tapi di kepala banyak orang, perbedaannya nyata. Seperti bedanya “lauk gratis” dan “sampel produk”, padahal sama-sama dapat nasi kotak.
Toh pada akhirnya, ‘orang dalam’ dan ‘relasi’ hanyalah dua nama untuk lubang yang sama, bedanya cuma yang satu menyusup, yang satu permisi duluan pakai parfum etika. Tapi tenang, dua-duanya tetap masuk. Sementara kamu yang tidak memiliki keduanya, dan berjuang sendirian dengan kemampuan yang ada masih sibuk lamar sana-sini dan update CV. Hehe apakah itu adil?