Di banyak sudut negeri ini, bullying masih jadi “ritual” diam-diam yang terus berlangsung di sekolah. Ia tidak punya seragam, tidak tercatat di daftar mata pelajaran, tapi hampir setiap siswa pernah mengalaminya, entah sebagai pelaku, korban, atau penonton pasif.
Kasus terbaru di Blitar, video yang tersebar di media sosial kembali membuka luka lama. Anak SMP dibully, dipukul, dipermalukan. Ia membawa trauma yang dibawa pulang ke kamar tidur.
Di luar ruang BK dan mediasi seremonial, korban harus berhadapan dengan luka yang sunyi, sementara pelaku kadang malah jadi lebih lincah karena tahu, hukumannya cuma “dinasihati”.
Sekolah, Tempat Belajar atau Bertahan?
Sekolah seharusnya jadi tempat paling aman kedua setelah rumah. Tapi kini, banyak siswa merasa harus memakai dua lapis pertahanan: satu untuk menghadapi ujian matematika, satu lagi untuk bertahan dari cemoohan dan kekerasan teman sebaya.
Kalimat seperti ini sering dilontarkan dengan bangga, seolah kekerasan adalah bagian dari kurikulum tidak tertulis yang harus dijalani agar “jadi kuat”.
Padahal, yang jadi kuat bukan mentalnya, tapi tembok hatinya, karena dipaksa kebal oleh sistem yang tidak pernah benar-benar berpihak. Kita Masih Salah Menyikapi.
Yang menyedihkan, banyak sekolah dan orang dewasa justru lebih cepat menenangkan pelaku daripada mendengarkan korban. Mungkin karena lebih nyaman menyelamatkan reputasi lembaga daripada menyelamatkan perasaan seorang anak.
Ketika korban melapor, ia dianggap lebay. Ketika ia melawan, ia dianggap pembuat masalah. Ketika ia diam, dianggap sudah selesai.
Mudah sekali meninabobokan luka dengan kalimat, “Nanti juga lupa.”
Padahal, trauma tidak seperti coretan di papan tulis. Ia tidak bisa dihapus dengan penghapus putih dan sedikit air.
Butuh Perubahan, Bukan Permakluman
Yang kita butuhkan bukan hanya himbauan moral di dinding sekolah atau video motivasi menjelang upacara.
Tapi keberanian untuk tegas: bahwa bullying bukan candaan. Bahwa anak-anak juga manusia, yang punya batas rasa dan harga diri.
Sanksi harus jelas, perlindungan harus nyata. Jangan sampai sekolah hanya jadi tempat siswa belajar pelajaran, tapi gagal jadi tempat mereka belajar jadi manusia yang utuh—yang merasa aman, dihargai, dan tidak dipermalukan demi tawa singkat.