Di beberapa kampung tua di Ranah Minang, nama “Siampa” bukan merujuk pada sampah plastik atau bungkus mie instan. Tapi pada satu sosok halus yang tak banyak disebut-sebut lagi karena konon, semakin sering disebut, semakin ia datang mendekat.
Siampa, begitu orang tua-tua menyebutnya, adalah hantu yang cukup mengagetkan, ia tak meloncat dari balik pintu, atau menjerit di tengah malam. Ia sunyi. Diam. Tapi hadir. Menjelma sebagai bayangan yang tak punya pemilik, suara langkah yang tak bersepatu, atau bau anyir di tikungan jalan yang tak berlampu.
Mak Lelo dari Kuranji pernah bersumpah melihatnya. Sosok perempuan berdiri di ujung lorong dengan kain panjang menutupi wajah. Diam saja. Tak bergerak. Tapi semakin kau berpaling, semakin dekat ia terasa.
“Bukan kuntilanak, bukan pula palasik,” katanya. “Siampa itu bukan hantu yang datang untuk menakut-nakuti. Dia datang saat ada yang lupa. Saat ada janji yang tidak ditepati, atau kuburan yang tak lagi dikunjungi.”
Bagi masyarakat Minang yang sangat menghormati leluhur dan adat, Siampa menjadi semacam pengingat yang tidak kasat mata. Ia muncul saat ada yang dilupakan, baik orang tua yang dulu merawat surau, atau tanah pusako yang ditelantarkan.
Beberapa orang menyebutnya penjaga sepi. Yang lain menganggapnya hanya bayang-bayang pikiran. Tapi anehnya, hampir semua kampung punya versinya sendiri. Ada yang menyebutnya Siampa, ada yang menyebutnya Sio-Sio, atau Inyiak Guntiang. Tapi semuanya itu satu, ia diam, kelam, dan terasa menekan dada.
Dalam dunia yang makin sibuk ini, Siampa mungkin sudah tak punya tempat. Tapi di tikungan tua, di bawah pohon jambu tua yang tak pernah berbuah, atau di rumah kosong yang pintunya terbuka setengah. Kadang, ia masih ada. Menunggu.
Jadi, kalau suatu malam kau merasa sedang diawasi saat berjalan sendiri pulang ke rumah, jangan buru-buru berlari. Bisa jadi itu cuma angin. Tapi kalau tiba-tiba tak ada suara dan bau bunga bercampur tanah basah menguar pelan, barangkali Siampa sedang menoleh ke arahmu.