Setahun sekali, Tuhan Hindu turun dari singgasananya—bukan untuk mengadili dosa, melainkan untuk bermain lempar bubuk warna.
Dan manusia, dengan sukacita primitif yang telah lama dikubur dalam spreadsheet kantor dan drama politik harian, menyambutnya dengan tawa, air, dan pigmen dalam segala warna yang tidak pernah disetujui oleh dinas kebersihan.
Holi, demikian namanya. Festival musim semi yang lebih menyerupai perang cat daripada perayaan keagamaan.
Tapi jangan salah: di balik euforia bubuk yang beterbangan dan orang-orang berbaju putih yang kini menjadi kanvas dadakan, tersimpan pesan filosofis yang tak bisa diremehkan. Ini bukan sekadar soal warna. Ini soal mewarnai dunia yang terlalu lama tenggelam dalam kelabu.
Di India, jutaan orang turun ke jalan. Kota-kota besar seperti Delhi dan Mumbai disulap menjadi sirkus warna, di mana pejabat dan pengangguran sama-sama dikejar anak kecil bersenjatakan pistol air.
Malam sebelumnya, api unggun Holika Dahan dinyalakan. Bukan untuk membakar sampah atau kenangan mantan, tapi untuk memperingati kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tentu saja, dalam konteks India modern, definisi “baik” dan “jahat” kerap bergantung pada hasil pemilu.
Narendra Modi, dalam perannya sebagai juru bicara Tuhan dan negara, sempat mencuit pesan kedamaian dan warna-warni persatuan. Entah itu benar-benar ajakan tulus atau sekadar PR tahunan, yang jelas rakyat menyambutnya dengan lebih banyak bubuk warna dan lebih sedikit sinisme.
Di sisi lain, kelompok konservatif Hindu garis keras sempat menyerukan agar Holi dilakukan “dengan nilai spiritual dan bukan hura-hura.” Seruan itu, sebagaimana biasa, dikalahkan oleh musik Bollywood yang menggema dari pengeras suara pinggir jalan.
Di Indonesia, Holi bukan hanya dirayakan oleh diaspora India. Di Jakarta, ribuan orang berbaur di Buperta Cibubur, menyatu dalam kekacauan warna yang direncanakan.
Bubuk merah muda menghiasi rambut politisi lokal, anak-anak muda Bali menari diiringi tabuh India yang dikawinkan dengan gamelan, dan di Medan, umat lintas agama saling mengejar dengan pistol air, menunjukkan bahwa persatuan ternyata lebih mudah diraih lewat warna ketimbang wacana.
Sementara itu, di luar Asia, Holi mengalami mutasi. Di Berlin dan New York, festival ini berubah menjadi pesta EDM dengan DJ, neon, dan penjualan tiket VIP.
Bubuk warna kini dikemas dalam plastik steril, dan dilemparkan dengan koreografi ala konser Coldplay. Di Utah, ribuan orang menari di ladang sambil berseru “Happy Holi!”—sebuah ironi mengingat beberapa dari mereka baru minggu lalu memprotes imigran dari Asia Selatan.
Tapi entah di mana pun dirayakan, Holi punya kekuatan purba: ia menanggalkan status sosial, melarutkan perbedaan, dan membebaskan manusia dari logika.
Seorang profesor bisa disemprot warna oleh satpam kampus, dan tidak ada yang mengeluh. Seorang ibu-ibu bisa menari di tengah jalan dengan gadis SMA, dan tidak dianggap kehilangan martabat. Sebab pada hari itu, satu-satunya aturan adalah: jangan terlalu serius.
Meski begitu, Holi bukan tanpa kritik. Para penggiat lingkungan mengingatkan bahwa pigmen sintetis mencemari sungai, dan beberapa rumah sakit melaporkan iritasi kulit karena lemparan cinta yang terlalu kimiawi.
Tapi bukankah semua perayaan punya harga? Bahkan Tahun Baru dibayar dengan polusi udara dan pesta demokrasi dibayar dengan stres nasional. Setidaknya Holi membayar lewat warna dan tawa.
Dan mungkin, di zaman di mana dunia terlalu sibuk menuding, menuntut, dan membangun tembok antara satu sama lain, kita memang perlu satu hari di mana semua orang lupa kasta, agama, orientasi, bahkan password Wi-Fi, dan hanya fokus mengejar satu hal: melempar warna ke wajah orang asing dengan senyum paling ikhlas.
Holi bukan hanya tentang musim semi yang kembali, tapi tentang harapan manusia yang tak pernah pergi: bahwa dunia ini, sesuram apapun keadaannya, masih bisa diperindah oleh warna. Asal kita bersedia mencuci baju, dan sesekali, mencuci ego.
VoA