Di tulang malam yang mulai lelah di Padang, seorang anak kecil melintas dengan kerupuk di atas kepala dan mimpi yang belum sempat dilipat. Langkahnya ringan, tapi beban di kepala dan barangkali di hatinya lebih berat dari yang bisa kita pahami hanya dengan mata.
Pakaiannya piyama, harusnya sudah di kamar, mungkin memeluk boneka, bukan mangkuk kerupuk. Tapi entah sejak kapan, negara ini membiarkan anak-anak menjual renyah demi hidup yang patah-patah.
Kita sering bilang anak-anak adalah masa depan bangsa. Tapi mengapa masa depan itu malah dibiarkan berjalan sendirian, menyusuri teras warung dan pelataran motor, sementara sebagian orang dewasa sibuk berdebat soal tunjangan dan proyek fiktif?
Ia tak minta dikasihani. Tak juga berharap disorot. Tapi foto ini adalah tanya yang diam. Siapa sebenarnya yang butuh bantuan di negeri ini, anak kecil yang menjajakan kerupuk, atau kita yang dewasa namun terlalu sibuk menumpuk jabatan dan janji kosong?
Cerita ringan di tengah malam;
“Namanya siapa?”
“AZ (9), Kak,” jawabnya malu-malu.
“Kenapa jualan malam-malam?”
“Bantu mamak… kalau nggak, besok nggak ada uang jajan. Kadang buat bayar utang listrik juga,” katanya sambil menyeimbangkan tampah berisi kerupuk di atas kepala.
“Capek nggak?”
“Kadang… tapi udah biasa.”
AZ (9) tidak sedang memainkan peran dalam drama. Ia sedang hidup dalam kenyataan yang seharusnya tak menjadi milik anak-anak. Ia menolak menjadi beban, bahkan ketika dunia belum memberinya tempat untuk sekadar bernapas lega.
Malam akan larut. Kerupuk mungkin habis. Tapi ironi ini tak pernah benar-benar selesai dan berbasa-basi.