Seloka.ID — Agustus kembali datang, lengkap dengan segala ritualnya: tiang bendera dicat ulang, gapura digantungin janur, dan surat edaran dari negara kembali turun—bukan bansos, tentu, tapi imbauan untuk mengibarkan bendera merah putih selama sebulan penuh, dari 1 hingga 31 Agustus 2025.
Surat edaran ini datang dari Menteri Sekretaris Negara. Bunyi resminya sederhana: kibarkan bendera, hias lingkungan, dan rayakan ulang tahun ke-80 Republik Indonesia dengan semangat. Gunakan logo resmi, jangan lupa pasang umbul-umbul dan spanduk, dan tentu saja: pastikan merah di atas, putih di bawah—itu perintah, bukan pilihan.
Tapi di tengah semarak yang diimbau dari atas, ada suara lirih dari bawah. Seorang warga Jakarta Selatan bernama Riki Hidayat, 31 tahun, memutuskan untuk tidak mengibarkan sang merah putih. Bukan karena dia tak tahu caranya mengikat tali ke tiang, tapi karena katanya, “saya sedang berkabung.” Tiga tahun berturut-turut, ia pasang merah putih setengah tiang di setiap Hari Kemerdekaan—sebagai simbol bahwa demokrasi Indonesia sedang sekarat.
Tahun ini, dia tidak setengah-setengah. Ia sudah memesan bendera One Piece—ya, bendera bajak laut dari anime Jepang. “Itu simbol kebebasan, perlawanan terhadap ketidakadilan,” katanya. “Lebih relevan dari sekadar simbol negara yang tidak lagi melindungi rakyatnya.”
Bagi Riki, mengibarkan bendera One Piece bukan bentuk pengkhianatan, tapi justru seruan cinta tanah air—tanah air yang seharusnya bukan cuma tempat membayar pajak, tapi tempat di mana pajak itu kembali dalam bentuk keadilan, pelayanan, dan penghormatan pada hak dasar warga. “Saya cinta tanah air,” katanya, “Tapi saya juga ingin tanah air mencintai saya kembali.”
**
Fenomena ini bukan milik Riki seorang. Di Depok, seorang warga bernama Rian, 32 tahun, juga telah memesan bendera One Piece dari marketplace. “Apa yang mau dirayakan?” katanya. “Kita merdeka secara administratif, tapi hidup rasanya kayak dijajah sistem sendiri.”
Di media sosial, tren ini mulai merebak. Sebuah gerakan diam-diam, yang lebih banyak dibicarakan di kolom komentar daripada ruang rapat. Negara memang mengimbau warganya menghias kampung dengan spanduk dan umbul-umbul, tapi sebagian rakyat merasa hiasan tak cukup untuk menutupi lubang kepercayaan yang makin menganga.
**
Di sinilah letak ironi Republik: saat negara sibuk mengatur warna kain yang harus dikibarkan rakyatnya, rakyat justru mempertanyakan warna dari janji-janji kemerdekaan itu sendiri. Apakah masih merah dan putih? Ataukah sudah pudar, terganti oleh warna abu-abu kompromi dan kepentingan?
Negara memanggil dengan surat edaran. Tapi rakyat menjawab dengan simbol-simbol baru. Ketika simbol bajak laut terasa lebih jujur daripada pidato kenegaraan, maka persoalannya bukan sekadar bendera. Ini soal representasi. Soal siapa yang benar-benar berdiri di bawah panji keadilan.
**
Maka, wahai bangsa Indonesia: kibarkanlah bendera, seperti yang diimbau. Gunakan logo resmi, hiasi rumah dan kantor. Tapi jangan lupa kibarkan juga pertanyaan: apakah kemerdekaan ini masih bisa dirayakan dengan hati yang utuh? Atau sekadar dengan kain dan perintah?
Sebab cinta pada negeri tak bisa dipaksa lewat edaran. Ia tumbuh dari keadilan yang nyata, dari rasa dimiliki dan dilindungi. Dan jika hari ini rakyat lebih memilih bendera bajak laut ketimbang bendera negara, maka mungkin inilah saatnya negara berkaca: bukan rakyat yang memberontak, mungkin hanya negara yang lupa memeluk.
Catatan: Logo resmi HUT ke-80 RI dapat digunakan pada berbagai media publikasi, spanduk, dan dekorasi. Surat Edaran Mensesneg Nomor B-523/M/S/TU.00.04/07/2025 dapat diunduh di laman resmi Setneg. Merah putih tetap dikibarkan, tapi biarkan suara rakyat ikut berkibar juga.