Seloka.id – Sore itu, di Padang Sarai, langit tampak tenang. Tapi di balik jendela sebuah rumah doa, suara-suara menggema: doa yang dipanjatkan pelan, harap yang dikirim diam-diam ke langit. Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia Anugrah Padang sedang beribadah, mungkin seperti pekan-pekan sebelumnya. Tapi Minggu, 27 Juli 2025, Tuhan tak sempat disapa sepenuhnya—karena sebelum “Amin” terlontar, datanglah massa.
Bukan massa dalam arti politik, bukan juga aksi demonstrasi. Mereka datang bukan membawa spanduk, tapi balok kayu. Teriakannya bukan tuntutan, tapi perintah: “Bubarkan!”
Video yang beredar tak bisa dibantah. Suara histeris para perempuan dan anak-anak jemaat beradu dengan nada tinggi para “penegak iman rakyat”. Kamera amatir merekam arogansi yang tak mengenal malu: rumah ibadah dirusak, ketenangan dijungkirkan, dan sekelompok manusia merasa punya mandat suci untuk mengadili Tuhan—hanya karena Dia disapa dengan nama yang berbeda.
Dalam sekejap, rumah doa itu bukan lagi tempat suci, tapi arena penghakiman. Sebuah drama tragis yang dipentaskan tanpa naskah, tapi sudah lama dilatih dalam bisik-bisik kecurigaan dan dogma yang menyempit.
Dan seperti biasa, ayat-ayat pun dikutip sekenanya. “Lakum dinukum waliyadin,” katanya, sembari memaksa orang lain menelan ayat itu dengan mulut terbungkam. Kalimat suci itu, yang seharusnya menjadi jembatan, malah dipakai sebagai palu. Agama bukan lagi jalan pulang ke Tuhan, tapi alat ukur siapa yang boleh tinggal di kampung.
Apakah ini yang disebut “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”? Atau kita telah menyaksikan Padang bergeser dari kota penuh falsafah menjadi kota yang mudah tersulut panik hanya karena doa terdengar berbeda?
Yang lebih menyakitkan bukan hanya rusaknya rumah doa itu, tapi diamnya banyak pihak. Pemerintah Kota Padang belum bersuara. Kementerian Agama hanya menyinggung soal “izin rumah ibadah”—sebuah jawaban administratif yang terlalu kaku untuk luka yang sangat manusiawi.
FKUB, lembaga yang dibentuk untuk menjaga kerukunan, sekadar menyerukan imbauan. Dan kita tahu, imbauan tanpa tindakan hanya membuat para pelaku makin percaya diri: bahwa di republik ini, kerukunan bisa dibatalkan oleh keramaian, dan iman bisa dikalahkan oleh suara paling keras di jalanan.
Insiden ini pun menambah daftar panjang kasus pembubaran ibadah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir—seolah rumah doa yang tak disukai warga bisa dibongkar seperti lapak PKL. Dari Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Bekasi, hingga persekutuan doa di banyak daerah lain yang dipaksa tutup dengan alasan “tidak ada izin lingkungan.”
Padahal, yang sering kali tidak diizinkan bukanlah bangunannya, tapi kehadirannya. Dan ironisnya, negara yang mestinya hadir sebagai penengah justru sering bertindak sebagai penonton—atau malah membenarkan tekanan massa atas nama ketertiban.
Kita harus jujur: intoleransi semacam ini tak lahir tiba-tiba. Ia dipupuk oleh ketakutan, dilestarikan oleh pembiaran, dan dibiarkan tumbuh subur oleh logika mayoritas yang keliru—bahwa lebih banyak berarti lebih benar.
Konstitusi sudah sangat jelas: Pasal 28E UUD 1945 menyebut bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Tapi dalam praktiknya, kebebasan itu bisa diredam hanya oleh suara tetangga yang keberatan. Dalam negara hukum, itu penghinaan terhadap hukum itu sendiri.
Dan kepada para jemaat yang hari itu ibadahnya dibubarkan, izinkan kami meminta maaf—bukan atas nama negara, bukan atas nama mayoritas, tapi atas nama nurani yang seharusnya tak ikut membatu.
Karena jika Tuhan bisa diusir dari Padang, siapa yang bisa menjamin Dia tak akan terusir pula dari hati kita sendiri?