O Smach, Perbatasan Kamboja–Thailand — Di tengah barisan pagar kawat dan aroma asap artileri yang belum sepenuhnya menguap, dua tentara Kamboja dengan kaus putih akhirnya melangkah bebas. Wajah mereka tenang, tubuh sedikit kaku — bukan karena takut, tapi mungkin karena sudah terlalu lama tak tahu kapan batas berubah menjadi jebakan.
Jumat, 1 Agustus 2025, Thailand memulangkan dua dari 20 tentara Kamboja yang sebelumnya ditahan atas dugaan “pelanggaran wilayah”—istilah halus untuk menegaskan bahwa tak ada yang benar-benar sepakat di mana ujung satu negara dan pangkal negara lain dimulai.
“Para tentara itu melintasi batas negara dan ditahan oleh tentara kami. Namun mereka diperlakukan sesuai prinsip kemanusiaan,” kata juru bicara pemerintah Thailand, Jirayu Houngsub, seperti dikutip Reuters.
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Kamboja tidak tinggal diam. Mereka mengirim pernyataan bernada tegas: “Kamboja sedang bernegosiasi aktif untuk pembebasan semua prajurit, dan menegaskan permintaan agar mereka segera dan tanpa syarat dibebaskan, sesuai hukum kemanusiaan internasional.”
Namun dalam diplomasi Asia Tenggara, kata “segera” bisa berarti “dalam waktu yang akan dipertimbangkan kemudian.”
Di Balik Seragam dan Jet Tempur
Pekan lalu, dunia menyaksikan satu episode terbaru dari konflik lama yang tak pernah selesai ditulis: sengketa perbatasan Thailand dan Kamboja. Meriam diluncurkan, jet tempur diterbangkan, dan sedikitnya 43 nyawa melayang. Lebih dari 300 ribu orang mengungsi — sebagian ke bukit, sebagian ke imajinasi bahwa ini hanya akan berlangsung sebentar.
Gencatan senjata diumumkan pada hari Senin, setelah tekanan datang dari Malaysia — yang kini seperti kakak sepupu yang diminta menengahi dua adik yang tak berhenti saling tuding. Bahkan Presiden AS Donald Trump ikut menelepon, mengancam akan menghentikan negosiasi tarif jika kedua negara tidak berhenti menembak.
Sebagai hasilnya, tarif ekspor Thailand dan Kamboja ke Amerika Serikat yang semula 36%, kini diturunkan menjadi 19%. “Perdamaian”, dalam kasus ini, memiliki label harga.
Diplomasi ala ASEAN: Teh Tarik dan Titik Koordinat
Pertemuan antara menteri pertahanan kedua negara akan digelar 4–7 Agustus di Malaysia, bukan di Phnom Penh sebagaimana semula direncanakan. Alasannya sederhana: netralitas. Sebab dalam geopolitik, tempat duduk kadang menentukan siapa yang harus minta maaf duluan.
Komite Perbatasan Umum akan membahas keamanan wilayah, penempatan pasukan, dan cara agar sejarah kuno tidak terus dijadikan senjata hari ini. Malaysia, selaku Ketua ASEAN saat ini, akan mengundang atase pertahanan dari seluruh negara anggota, termasuk AS dan Tiongkok — dua kekuatan yang gemar hadir saat orang Asia saling melirik tajam.
Konflik ini bukan soal tentara, tapi tentang sejarah yang tidak disepakati, batas negara yang kabur, dan candi kuno yang diperebutkan seperti warisan keluarga tanpa surat wasiat. Pada Mei lalu, satu tentara Kamboja tewas dalam insiden kecil yang akhirnya membesar menjadi lima hari baku hantam di akhir Juli. Tampaknya, tanah yang dipertengkarkan bukan hanya soal batu dan tanah, tapi juga ego yang telah menua.