Jakarta, Seloka.ID— Dia adalah sosok elite: mantan menteri dengan segudang pengalaman, lulusan luar negeri, dan rekam jejak profesional yang meyakinkan. Namun akhir Juli 2025, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong menjadi pesakitan dalam kasus impor gula. Pengadilan Tipikor Jakarta memvonisnya 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta—putusan yang menyalak protes dari berbagai penjuru.
Majelis hakim menyatakan Lembong terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi karena menyetujui izin impor gula kristal yang tidak sesuai prosedur.
Hal tersebut disebut menimbulkan kerugian negara hingga Rp194,7 miliar, dalam kebijakan yang—meskipun disengketakan—dilabeli sebagai pelanggaran pidana.
Namun benang merah antara kebijakan publik dan korupsi korporasi mulai tertarik oleh pakar hukum. Abdul Fickar Hadjar menyebut angka kerugian itu bersifat estimasi, bukan riil. “Potensial loss bukan kerugian nyata,” kritiknya dengan nada sinis, karena menurutnya unsur korupsi—seperti aliran dana pribadi dan niat jahat—tidak pernah terbukti.
Suara yang makin keras datang dari Feri Amsari, pakar hukum tata negara. Ia menyimpulkan bahwa fenomena hukum ini bukan sekadar soal hukum formal, tetapi soal keberpihakan: “Pak Tom bukan hanya salah soal kebijakan, melainkan salah memilih pihak.”
Kritikan serupa datang dari Saud Situmorang, mantan Wakil Ketua KPK, yang menyatakan kasus ini “dipaksakan”: dunia hukum menuntut individu meskipun kebijakan lahir dari keputusan kolektif kabinet.
Dari sudut pandang legal formal, unsur actus reus dan mens rea yang menjadi syarat korupsi tidak terbukti. Jaksa bahkan tidak menunjukkan adanya aliran dana kepada Lembong atau orang lain.
Di tengah pintu praperadilan ditutup, Selongsong Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tetap dipakai untuk menjamin vonis—meski tidak ditemukan bukti niat jahat atau keuntungan pribadi.
Di media sosial dan forum hukum, banyak yang menggunakan kata “ngaco” untuk menggambarkan putusan ini. Alasan: proses hukum seolah sama sekali tidak memberi ruang bagi prinsip in dubio pro reo—ketika keragu-raguan lebih menguntungkan terdakwa.
Putusan dijatuhkan padahal bukti tidak menunjukkan bahwa kebijakan tersebut menghasilkan keuntungan pribadi atau menyumbang kerugian faktual ke kas negara.
Sementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut vonis itu sangat mengecewakan. Dia mempertanyakan kredibilitas proses peradilan ketika figur publik seperti Tom, yang menghadapi sidang dengan sorotan luas publik, tetap dipidanakan.
Pertanyaannya muncul: apakah sistem hukum kita sudah menjadi alat kontrol moral politik, ataukah masih berfungsi sebagai wadah menegakkan keadilan objektif?
Jika kebijakan publik bisa dipidanakan atas dasar potensi kerugian administratif tanpa bukti nyata, maka siapakah pejabat yang berani mengambil keputusan besar tanpa takut dijerat pidana?
Vonis terhadap Tom Lembong menjadi preseden berbahaya: kebijakan bisa dihukum, bukan karena korupsi, tetapi karena salah konteks politik atau pengambilan keputusan.
Jika demikian, negara bukan lagi tempat penegakan hukum yang adil, melainkan ladang ketidakpastian bagi para pengambil kebijakan—termasuk mereka yang berniat baik sekalipun.